Masalah makanan halal merupakan masalah yang sering mengganggu pikiran kita. Di Indonesia, masalah makanan halal mulai hangat dibicarakan lagi, terutama masalah daging sembelihan. Banyak orang yang tak sadar bahwa daging sapi atau ayam mungkin saja jadi haram bila cara menyembelihnya tidak sesuai dengan syariat Islam.
Syukurlah, setelah heboh lemak babi beberapa tahun silam, Majelis Ulama Indonesia telah membentuk lembaga yang meneliti kehalalan makanan dan obat-obatan. Tetapi, tanpa dukungan masyarakat MUI tak akan mampu terus menerus mengontrolnya. Yang terpenting adalah kesadaran para produsen makanan, termasuk rumah potong hewan, dalam penyediaan makanan halal. Tak cukuplah label HALAL, kalau nyatanya masih mengandung unsur haram, baik sebagai bahan campuran maupun karena caranya yang tidak sesuai syariat. Karenanya, pemahaman halal dan haram merupakan hal mutlak bagi setiap Muslim.
Tulisan ini mencoba mengkaji secara ringkas perihal halal dan haram dalam makanan, minuman, dan beberapa hal yang terkait dengannya.
Dasar Hukum Pokok
Untuk memahami masalah halal dan haram, berikut ini dikutipkan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits sahih yang bisa dijadikan pegangan.
Mereka menanyakan kepadamu apa yang dihalalkan bagi mereka. Katakanlah: “Dihalalkan bagi mereka yang baik‑baik” (Q.S. 5:4).
Dihalalkan bagi mereka yang baik‑baik dan diharamkan yang buruk‑buruk (Q.S. 7:157).
Dan sesungguhnya Allah telah merinci bagimu apa yang diharamkan‑Nya, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya (Q.S. 6:119).
Katakanlah: Tidak aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi karena itu semua najis atau karena kefasikan (yaitu) binatang yang disembelih dengan nama selain Allah (Q.S. 6:145).
Allah menghendaki kemudahan bagimu, tidak menghendaki kesukaran (Q.S.2:185)
(…Sesungguhnya Allah telah) mengharamkan beberapa hal maka jangan dilanggar, dan mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang‑Nya, bukan karena lupa maka jangan diungkit‑ungkit (H.R. Daruqutni, hasan menurut Nawawi).
Yang halal jelas dan yang haram pun jelas. Antara keduanya ada hal‑hal yang meragukan (subhat) hingga orang‑orang tak tahu apakah itu halal atau haram. Orang yang menjauhinya untuk menjaga agamanya, selamatlah ia. Bila ia melakukannya mungkin ia melakukan hal yang haram, seperti orang yang menggembalakan ternaknya di ‘hima’ (padang khusus milik raja yang dilarang dimasuki ternak lain), sangat mungkin ternaknya tersesat ke sana. Sungguh tiap raja punya ‘hima’ dan ‘hima’ bagi Allah adalah apa yang telah diharamkan‑Nya. (H.R. Bukhari, Muslim, dan lainnya, dengan lafal riwayat Tirmidzi).
Tidak ada kontradiksi
Kalau kita baca lagi Q.S. 6:145 (lihat di atas) kita tahu bahwa hanya ada empat jenis makanan yang diharamkan: bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan apa‑apa yang (disembelihnya) dengan nama selain Allah. Ketiga yang pertama disebut alasannya karena ‘rijsun’ (kotor, najis). Yang terakhir karena ‘fisq’ (fasik, mengotori jiwa).
Benarkah ada larangan lain selain yang empat? Tidak ada, kecuali apa yang dijelaskan oleh Rasulullah (akan dibahas kemudian). Di dalam Q.S. 5:3 dijelaskan : Diharamkan bagimu (1) bangkai, (2) darah, (3) daging babi, (4) daging yang disembelih dengan nama selain Allah, (5) yang dicekik, (6) yang dipukul, (7) yang jatuh, (8) yang ditanduk, (9) yang dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (10) yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib. Semua itu kefasikan. Sedangkan di dalam Q.S. 6:121 dijelaskan: Jangan kamu makan apa‑apa yang (disembelih) tanpa menyebut nama Allah, karena itu kefasikan. Tidak ada kontradiksi di sini dengan pengharaman hanya empat jenis. Yang satu menjelaskan yang lain.
Al-Qur’an S. 5:3 dan Q.S.2:173 mengharamkan ‘darah’. Apakah darah yang tersisa di dalam daging haram? Ternyata tidak haram. Al-Qur’an Surat 6:145 menjelaskan yang haram hanya ‘darah yang mengalir’, darah yang keluar dari daging.
Al-Qur’an surat 5:3 menjelaskan bahwa semuanya ‘fisqun’ (kefasikan, bisa mengotori jiwa), berlaku untuk sepuluh jenis yang diharamkan itu, bukan hanya sembelihan dengan nama selain Allah. Nomor (5) ‑ (9) merinci pengertian ‘bangkai’. Dan nomor (10) menjelaskan contoh ‘disembelih dengan nama selain Allah’.
Lalu bagaimana dengan Q.S. 6:121 yang mengharamkan binatang yang disembelih tanpa menyebut nama Allah? Nampaknya binatang yang disembelih tanpa baca bismillah statusnya digolongkan sebagai ‘bangkai’ (juga alasannya ‘fisqun’) karena tidak memenuhi aturan penyembelihan dalam Islam, kecuali sembelihan Muslim yang dinyatakan halal oleh Nabi dan sembelihan ahli kitab yang dikecualikan oleh Allah (insya Allah akan dibahas di bagian tentang hukum sembelihan). Para Sahabat biasa menganggap sembelihan orang Majusi sebagai ‘bangkai’.
Pengharaman di dalam hadits
Rasulullah SAW menetapkan suatu hukum halal atau haram tidak semata‑mata mengikuti kehendaknya, tetapi tak lepas dari petunjuk Allah. Pernyataan Rasulullah SAW adalah tafsir yang paling tepat atas suatu hukum di dalam Al‑Qur’an.
Di dalam Al‑Qur’an Allah mengharamkan bangkai tetapi Rasulullah mengecualikan bangkai binatang laut dan belalang dengan haditsnya: Laut itu airnya suci dan mensucikan, dan bangkainya halal (H.R. Bukhari, Tirmidzi dan lainnya).
Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah: bangkai ikan dan bangkai belalang, dan yang tergolong darah: hati dan limfa. (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Daruquthni, Baihaqi, Sayfi’i).
Ini menjelaskan bangkai yang dimaksud di dalam Al‑Qur’an, bangkai yang dimaksudkan tidak mencakup binatang laut dan belalang. Ini juga sesuai dengan Q.S. 5:96: Dihalalkan bagi kamu binatang laut dan makanan yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat…).
Bila didapati larangan Rasulullah SAW seperti di dalam hadits‑hadits, itu pun tidak bertentangan dengan Al‑Qur’an. Larangan Rasulullah SAW bisa dipandang sebagai penjabaran larangan ‘makanan yang buruk‑buruk’ (Q.S.7:157). Misalnya, Rasulullah SAW melarang memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang bercakar (yaitu burung buas) (H.R. Muslim).
Sembelihan yang tidak sah
Hanya sembelihan Muslim yang dewasa (aqil baligh) dan ahli kitab yang dianggap sah. Sembelihan oleh orang gila, anak kecil, orang musyrik dan orang yang murtad dari Islam dianggap tidak sah. Para Sahabat menganggap sembelihan orang Majusi sebagai bangkai.
Menurut syariat Islam, sembelihan yang halal harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Penyembelihnya Muslim atau Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi). Membacakan Bismillah bisa dilakukan pada saat memasaknya atau memakannya. Ini didasarkan pada beberapa hadits sahih dan ayat berikut:
‘Sembelihan orang Muslim itu halal, baik ia membaca Bismillah atau pun tidak’ (H.R. Abu Daud dalam Kitab Maraasil).
‘…Dan makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka‘ (Q.S.5:5).
Dari Aisyah: Suatu kaum bertanya bertanya pada Rasulullah: “Ya Rasulullah, suatu kaum memberi kami daging. Kami tidak tahu apakah mereka waktu menyembelihnya membaca bismillah atau tidak.” Rasul menjawab: “Bacakan (bismillah) dan makanlah.” Aisyah menjelaskan bahwa mereka (:pemberi) baru saja keluar dari kekafiran (baru masuk Islam, jadi penerima ragu apakah mereka baca bismillah atau tidak) (H.R. Bukhari dan lain‑lain).
2. Disembelih hingga darahnya keluar ‑‑dan tetap dihalalkan kalau pun sampai kepalanya terpisah‑‑ dengan alat apa pun yang tajam.
“…Dan (dengan alat) apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah padanya, makanlah. Bukan dengan gigi atau kuku.” (H.R. Muslim).
Bila tidak memenuhi dua syarat itu haramlah daging sembelihan itu.
Sembelihan Ahli Kitab
Sembelihan Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) yang tidak menyebut apa‑apa halal berdasarkan Q.S.5:5. Tetapi bila mereka menyebut nama selain Allah, tetapi sesuai dengan kebiasaan dalam ajaran mereka (misalnya dengan nama Yesus, Uzair, nama gereja, dsb.) ada tiga pendapat:
1. Tetap halal dengan alasan: Allah telah memberikan kekecualian bagi mereka dan Allah Maha Tahu apa yang mereka lakukan dalam kepercayaannya (a.l. pendapat Ibnu Abas, Atha’).
2. Haram, dengan alasan Q.S. 2:173, 5:3 yang mengharamkan sembelihan yang menyebut nama selain Allah (a.l. pendapat Ali, Aisyah, Ibnu Umar).
3. Imam Malik berpendapat makruh, bukan haram karena ada kekecualian dalam Q.S. 5:5. Bila ada dua pendapat yang alasannya sama kuatnya, keputusannya cenderung kepada yang haram, tetapi tidak mengharamkan sampai jelas bahwa itu haram.
Sembelihan orang musyrik
Sembelihan kaum Musyrik (non‑Muslim non‑ahli kitab) dinyatakan haram dengan alasan:
Di dalam Q.S. 6:121 dinyatakan: “Janganlah kamu makan (daging yang disembelih) tanpa menyebut nama Allah.”
Sangat pasti non‑Muslim tak akan membaca Bismillah waktu menyembelihnya. Ayat Q.S.5:5 yang memberikan kekecualian pada ahli kitab mempertegas hukum bahwa sembelihan non‑Muslim yang bukan ahli kitab haram hukumnya, karena kalau tak haram tak mungkin ada kekecualian bagi ahli kitab.
Karenanya, kalau pergi ke Jepang hindarilah makan daging sapi atau ayam yang dibeli bebas di restoran atau department store. Mayoritas penduduk Jepang bukanlah Muslim dan bukan pula ahli kitab. Karenanya daging sembelihannya haram hukumnya. Carilah daging import yang dilengkapi sertifikat halal.
Daging import
Saat ini mulai diperdagangkan daging import dengan label halal yang disertai dengan sertifikat penyataan halal dari lembaga Islam di negara pengekspornya. Untuk mengatasi kesulitan mencari daging yang disembelih secara Islam, di Jepang saat ini banyak dijumpai daging ‘halal’import dari Denmark, Australia, dan Brazil, juga corned ‘halal’ dari Fiji, serta sosis ‘halal’ dari California. Di Indonesia pun daging import yang disertai sertifikat halal mungkin mulai ada.
Mengingat bahwa Muslim saat ini memang sudah tersebar ke seluruh dunia, informasi dalam sertifikat halal itu sangat mungkin benar. Jadi, daging import seperti itu bisa dianggap halal. Khatib Asy‑Syarbini, pengikut madzhab Syafii menulis di bukunya ‘Al‑Iqna’:”…Kalau orang fasik (Muslim, tetapi suka juga berbuat dosa) atau ahli kitab memberitahu bahwa dialah yang menyembelih domba ini, maka sembelihan itu dihalalkan….”
Kulit bangkai atau babi, najiskah?
Sedikit disinggung di sini masalah sepatu atau jaket dari kulit babi, walaupun ini bukan hal makanan, tetapi sering dirancukan dengan haramnya dimakan.
Kulit bangkai atau kulit babi yang telah disamak tidak najis, boleh dijadikan sepatu atau jaket. Sayid Sabiq dan Yusuf Qardawy mendasarkan pada hadits berikut:
Tentang kulit domba yang mati (bangkai) Rasulullah SAW berkata: ‘Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya, menyamaknya lalu memanfaatkannya. …Yang diharamkan hanyalah memakannya‘ (Hadits riwayat Jamaah, kecuali Ibnu Majah).
Karena pengharaman bangkai dan babi sama alasannya (Q.S.6:145), qiyas bisa dilakukan untuk menganggap kulit babi yang telah disamak tidak najis.
Khamr (Minuman Keras)
Rasulullah SAW telah memberikan definisi yang jelas tentang khamr (minumam keras) yang diharamkan.
1. Segala yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr pasti haram. (H.R. Ahmad, Abu Daud). ...Khamr itu yang mengacaukan akal (H.R. Bukhari‑Muslim).
2. (Khamr) terbuat dari anggur, korma, madu, jagung, atau gandum. (H.R. Bukhari‑Muslim).
Jadi, khamr adalah segala yang memabukkan atau mengacaukan akal, terbuat dari berbagai sumber karbohidrat atau gula. Kini telah diketahui bahwa unsur utama penyebab mabuk adalah alkohol yang terjadi dari proses fermentasi karbohidrat atau gula. Lengkapnya proses fermentasi itu seperti ini:
karbohidrat ‑‑> gula ‑‑> alkohol ‑‑> cuka.
Saat ini khamr banyak jenisnya: beer, wine, wisky, sake, dsb. Apa pun namanya, bila itu memabukkan, itu tergolong khamr yang diharamkan.
Berdasarkan kronologis turunnya larangan khamr di dalam Al-Qur’an kita ketahui bahwa pengharamannya bertahap.
1. Mula-mula hanya menyebutkan efek buruk dari khmar. Allah baru memberikan pengertian.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: Pada keduanya ada dosa besar dan manfaat, tetapi dosanya lebih besar dari pada manfaatnya (Q.S.2:219).
2. Tahap kedua membatasi saat meminumnya.
Hai orang‑orang yang beriman, janganlah kamu salat dalam keadaan mabuk, (lakukanlah bila) kamu telah mengerti apa yang kamu ucapkan (Q.S.4:43).
3. Tahap ke tiga baru pelarangan total dengan menyamakannya sebagai perbuatan setan.
Hai orang‑orang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan kotor/najis yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah agar kamu beruntung. Sesungguhnya syaitan itu ingin menimbulkan permusuhan dan kebencian diantaramu dengan khamr dan judi dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat. Maka berhentilah mengerjakan itu. (Q.S.5:90‑91).
Di dalam hadits disebutkan ancaman pelanggaran minuman keras:
1. Dalam hal khamr ada sepuluh kelompok orang yang dikutuk karenanya: pembuatnya, pengedarnya, peminumnya, pembawanya, pengirimnya, penuangnya, penjualnya, pemakan uang hasilnya, pembayarnya, dan pemesannya. (H.R. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
2. Tidak mungkin berzina penzina itu selama ia masih mu’min, tidak mungkin mencuri pencuri itu selama ia masih mu’min, dan tidak mungkin minum khamr peminum itu selama ia masih mu’min. (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i).
Artinya, iman dan perbuatan dosa tak mungkin bersatu, hanya ada satu pilihan di antara dua itu. Peminum khamr dinilai telah hilang keimanannya.
Kasus‑kasus khusus
1. Haramkah tape?
Ada dua hal yang perlu ditinjau: apakah tape itu dan apakah itu memenuhi syarat disebut khamr.
Tape atau peuyeum adalah singkong atau nasi ketan yang diberi ragi hingga terjadi proses fermentasi. Hasil fermentasi pertama dari zat pati pada singkong atau nasi ketan adalah gula yang menyebabkan tape manis rasanya. Tape manis inilah yang disenangi masyarakat. Makin lama disimpan tape makin terasa hangat di kerongkongan karena alkohol mulai terbentuk. Bila tape dipanggang (bikin ‘colenak’) atau dijemur alkoholnya menguap yang tersisa adalah zat gulanya.
Apakah masyarakat menganggap tape memabukkan? Tidak. Maka, tape bukan tergolong khamr. Alkohol memang unsur utama dalam khamr, tetapi tidak setiap yang mengandung alkohol adalah khamr. Dalam definisi Nabi hanya disebutkan bahwa khamr adalah yang memabukkan dan diyakini secara umum, bukan orang per orang. Jadi, tidak haram. Lain kasusnya bila tape itu sengaja disimpan lebih lama untuk mendapat cairan yang lebih banyak dan berkadar alkohol tinggi. Itu sudah menjurus pembuatan khamr. Air tape yang disimpan lebih lama akan menjadi minuman yang memabukkan, itulah khamr, haram hukumnya.
2. Haramkah cuka?
Cuka terbuat dari fermentasi lanjutan alkohol. Cuka secara ijma’ (kesepakatan ulama) dinyatakan halal. Kalau pun itu dibuat dari khamr, tetap halal. Sayyid Sabiq dalam buku Fikih Sunnah menjelaskan: “Bermacam‑macam hukum itu disebabkan oleh bermacam‑macam zatnya. Zat khamr bukanlah zat cuka. Cuka adalah halal menurut ijma’. Bila khamr berubah menjadi cuka, ia mesti halal bagaimana pun ia berubah.”
3. Najiskah alkohol pada parfum?
Ada golongan yang menghindari parfum (minyak wangi) yang menggunakan alkohol, dengan alasan khamr itu tergolong najis (rijsun, Q.S. 5:90). Sebenarnya, najis di situ dalam arti sifatnya kotor, bukan zatnya yang kotor. Orang kafir pun disebut najis, tetapi bukan dalam arti bila tersentuh mereka kita wajib mencucinya. Dalam kasus kulit bangkai, bangkai pun disebut najis, tetapi kulitnya yang sudah disamak boleh dipakai. Nabi SAW menjelaskan: “Yang diharamkan hanyalah memakannya”. Demikian pula alkohol, diharamkan adalah meminum khamrnya, dan tetap dibolehkan memakai parfum beralkohol untuk pakaian yang digunakan dalam salat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar